Konfrontasi Jiwa

Tulisan ini bermula dari sebuah keresahan yang melanda orang - orang disekitar penulis. Berawal dari sebuah logika bias antara sebuah keharusan dan kebutuhan. Menjadi manusia yang bebas merdeka tanpa ada intervensi sudah barang tentu sebuah keharusan. Namun, realitas berkata lain terjadi disparitas sehingga butuh konsensus antara gerakan dan logika yang penuh intervensi. Sebelum lebih jauh mendalami itu semua maka penulis menarik titik temu yang menyebabkan ini terjadi.



Pertama, bagaimana itu semua bisa terjadi? pertanyaan yang paling pokok ini disebabkan oleh suatu hal yaitu tentang Reifikasi dari spektakularisasi saat ini yang memberi setiap orang sebuah peran spesifik dalam sebuah kepasifan yang nyata, tidak terkecuali orang- orang disekitar penulis. Bagi mereka, itu adalah sebuah peran sementara, sebuah latihan bagi peran utama mereka di kemudian hari sebagai sebuah elemen konservatif yang memfungsikan sistem komoditi. Menjadi merdeka hanyalah sebagai sebuah bentuk inisiasi. Inisiasi ini secara magis mengikhtiarkan kembali seluruh karakteristik inisiasi mistis. Hal itu membuat orang - orang disekitar penulis tetap terpotong dari kenyataan semesta, sosial dan individual. mereka menjalani dua kehidupan, terposisikan di antara status saat ini dengan status masa depan yang terpisah, yang pada suatu saat akan ditolaknya dengan nyata. Sementara, kesadaran schizofrenik mereka membuat diri mereka terlepas dari “kelompok inisiasinya sendiri,” melupakan masa depan dan bersenang-senang dalam keadaan tak sadarkan diri yang sangat mistis.
Kedua, semakin banyak rantai otoritas yang mengikat mereka, semakin mereka ingin merasa bebas. Seperti juga keluarga baru mereka, mereka menganggap diri mereka sebagai makhluk yang paling “independen”, di mana pada kenyataannya mereka secara langsung dan sukarela bersikap patuh pada dua sistem otoritas sosial yang terkuat: keluarga dan negara. 
Ketiga, seperti yang dikatakan Pramoedya Anantatoer bahwa kemerdekaan itu didapat sejak  dalam pikiran. Ketika gagasan yang mereka punya harus diinterpretasikan oleh gerakan yang sudah tentu menjadi sebuah konsensus antara gagasan yang penuh intervensi dengan tindakan jiwa. Namun, hal berbeda yang dialami orang - orang disekitar penulis, terjadi konfrontasi yang mengekang jiwa-jiwa mereka dan lebih parahnya logika mereka yang dipaksa untuk mengikuti logika intervensi. 
          Kembali kepada pergulatan konfrontasi. Setelah diuraikan tiga dalil persoalan, kemudian penulis bercerita tentang bagaimana tiga dalil tersebut menyebabkan sebuah konfrontasi. Ketika realitas kehidupan saat ini tentang Reifikasi yang terjadi, banyak hal dinilai melalui eksistensial berupa material, kemudian gerakan yang bersifat nilai komoditi. itulah yang menyebabkan beberapa orang disekitar penulis merasa resah, jiwa mereka seakan dipaksa untuk bergerak yang sifatnya Reifikasi, sehingga apa yang mereka lakukan terkesan tidak mereka jiwai sepenuh rasa.
          Lebih lanjut, sistem otokrasi yang secara tidak sadar terjadi saat ini membuat mereka terkekang untuk melakukan gerakan. Bahwa ketika jiwa mereka bergerak ada hal yang tidak bisa mereka hindari yaitu intervensi. Intervensi dalam ikhwal logika mereka yang dipaksa mengikuti logika intervensi. Belum lagi, setiap gerakan mereka yang tak bebas seperti apa yang mereka bayangkan.
        

Sebuah pohon ketika semakin besar akan banyak tiupan angin yang menerpa, akan tetapi terpaan itu tidak akan menjadi masalah, apabila memiliki akar yang kuat dan juga mengikat. Analogi  seperti itulah yang memang harus dipakai, ketika sudah memasuki  dunia pergerakan, maka kita sudah sepatutnya memiliki akar logika yang kuat serta tekad dalam gerak jiwa. Ketika sudah memiliki akar yang kuat segala bentuk intervensi baik logika maupin gerakan bisa diminimalisir sesuai dengan peran kita.


Komentar

Posting Komentar

Postingan Populer