Diskursus Fenomena Buzzer dalam Bingkai Ruang Publik


Oleh Syahrial Darmanto
Fenomena munculnya buzzer dewasa ini, menjadi sebuah diskursus yang hangat ditengah publik. Polemik yang terjadi, membuat publik dan khususnya penulis menjadi bertanya-tanya. Apakah buzzer ini sebuah fenomena biasa pada era saat ini atau sebuah fenomena menarik untuk diulas. Sebelum lebih jauh berbicara buzzer penulis mencoba mengurai definisi dan fungsi buzzer dari awal kemunculan hingga saat ini.
Buzzer berasal dari Bahasa inggris yang mempunyai arti lonceng, bel atau alarm. Pengertian buzzer secara harfiah diartikan sebagai alat yang di manfaatkan dalam memberikan pengumuman atau mengumumkan sesuatu untuk mengumpulkan orang-orang pada suatu tempat. Gambaran kinerja buzzer juga kita bisa melihat di media sosial, satu orang memegang puluhan bahkan ratusan handphone/smartphone. Satu postingan sekali share bisa untuk ratusan akun.
Awal kemunculan buzzer sebenarnya digunakan untuk melakukan promosi barang-barang yang akan dijual di media sosial. Seperti, Twitter, Facebook, Instagram, dll. Lebih lanjut riset oleh Centre for Innovation Policy and Governance (CIPG) tahun 2017 menguraikan empat karakter umum yang dimiliki oleh buzzer.
Pertama, buzzer harus memiliki jaringan luas yang memudahkan mengumpulkan informasi-informasi krusial. Pengikut dengan jumlah yang besar juga menjadi bagian dari karakter jaringan luas yang harus dimiliki. Kedua, buzzer memiliki kemampuan untuk melakukan perbincangan dengan khalayak di linimasa sosial media agar membuat pesan yang disampaikan menjadi persuasif dan dapat dipersonifikasi. Kemampuan produksi konten seperti pengetahuan jurnalistik dan pembingkaian/pemilihan informasi adalah karakter ketiga buzzer. Keempat, perihal motif, seorang buzzer bisa dibayar atau berdasarkan keputusan sukarela yang didorong oleh alasan ideologi maupun kepuasan. Buzzer tidak selalu harus seorang penyanyi terkenal yang dipuja-puja khalayak ramai, tapi cukup seseorang bahkan bot dengan angka pengikut (setidaknya) di atas 2.000.
Diskursus Ruang Publik
Lebih lanjut sebelum memasuki lebih jauh penulis akan menguraikan apa sebenarnya ruang publik dan bagaimana kaitannya dengan buzzer. Jürgen Habermas menjelaskan konsep ‘ruang publik’ sebagai ruang yang mandiri dan terpisah dari negara (state) dan pasar (market). Ruang publik memastikan bahwa setiap warga negara memilik akses untuk menjadi pengusung opini publik. Opini publik ini berperan untuk memengaruhi, termasuk secara informal, perilaku-perilaku yang ada dalam ‘ruang’ negara dan pasar
Baik kali ini penulis akan mengulas bagaimana fenomena buzzer saat ini yang menjadi sebuah dirkursus ditengah ruang publik. Seiring dengan perkembangan zaman memasuki era digitalisasi ruang publik bertransformasi dari yang awalnya berada ditengah masyarakat seperti kedai kopi, taman, pangkalan ojek bahkan kegiatan seminar sekalipun. Ruang atau tempat tersebut menjadi ruang untuk memunculkan opini publik mengenai pembicaraan atau diskursus kebijakan negara atau pertukaran informasi,. Namun saat ini sudah bertransformasi menjadi digital atau lebih dikenal sebagai media sosial
Salah kaprah tentang buzzer
Tentu masih ingat dibenak kita mulai dari pemilu 2019 hingga saat ini begitu riuhnya jagat media sosial mulai dari twitter, facebook, dan instagram beberapa waktu lalu di beranda media sosial penuh dengan riuh status dan juga komentar, mereka bersitegang di dunia maya tentang politik baik itu kandidat hingga adu tagar. Narasi kebencian pun muncul dari akun yang bisa dikategorikan sebagai buzzer sehingga memancing akun-akun nyata ikut dalam gelanggang keriuhan.
Namun, seperti yang penulis ulas diatas bahwa buzzer sebenarnya digunakan untuk menyampaikan pesan-pesan komersil atau produk yang akan dijual sehingga dilirik oleh pengguna media sosial. Mari kita ulas bagaimana sih fenomena buzzer ini berkembang sehingga penulis mengatakan salah kaprah tentang buzzer ini. Pertama, ruang publik saat ini khususnya media sosial dipenuhi oleh buzzer-buzzer yang menyebabkan keriuhan, baik menyerang personal elite maupun menyerang Presiden sekalipun. Fenomena ini memunculkan narasi-narasi hate spech dan juga postingan postingan yang membuat opini publik menjadi kacau. Kedua, dari munculnya buzzer baik yang sukarela atau dibayar seperti yang penulis jelaskan diatas, tentu saja memperparah polarisasi di ruang publik sehingga apa yang terjadi dari pemilu 2019 terbawa hingga saat ini dan bahkan memunculkan sebuah polemik ditengah isu yang berkembang saat ini. Ketiga, isu yang berkembang yang seharusnya baik namun bisa saja dibelokan sesuai dengan “pesanan” karena kekuatan buzzer dalam memviralkan isu dalam media sosial. Keempat, bahwa ruang publik yang seharusnya memunculkan ide atau gagasan mengenai kebijakan negara baik dari individu maupun kelompok namun dengan adanya buzzer ini mendiskresi sebuah opini publik sehingga ide dan gagasan baik dalam bentuk kritik maupun apresiasi kini menjadi bias. Hal ini disebabkan bahwa pergulatan ruang publik yang seharusnya memunculkan opini yang baik kini terjadi distrosi.
Penertiban Buzzer
Mengakhiri dari tulisan ini, penulis merasa butuh sebuah kebijakan agar ruang publik khususnya, media sosial lebih menghasilkan sebuah kontruksi opini publik yang progresif positf. Mengapa ini perlu? Sebab apa yang terjadi di dunia maya terbawa ke dunia nyata, inilah yang menjadi diskursus pembahasan. Pergulatan buzzer yang terjadi di media sosial yang memancing akun-akun lain ikut masuk gelanggang memunculkan konflik dan juga menimbulkan hate spech. Persoalan utamanya adalah ketika apa yang terjadi di dunia maya ini terjadi juga di dunia nyata, maka ini harus dicari solusi bersama.
Ketika penertiban yang dilakukan oleh pemerintah dengan menutup akun-akun robot, tentu saja akan merusak marwah demokrasi sebab tidak ada regulasi dan bukan ranah dari pemerintah. Sehingga solusi yang lebih baik menurut penulis yaitu, bekerja sama dengan platform penyedia jasa untuk menertibkan akun-akun robot yang tidak mempunyai identitas jelas. Denngan begitu secara perlahan ruang publik media sosial mampu terrekontruksi kembali sehingga opini publik yang ada di media sosial bersifat konstruktif .
Penulis adalah Ketua Dewan Perwakilan Mahasiswa Fisipol Universitas Jambi 2018-2019

Komentar

  1. Penulisan bagus, dan dapat dimengerti dengan jelas.
    Saya ada sedikit pertanyaan. Pertanyaan saya, bagaimana tanggapan anda dengan Buzzer yang pro-pemerintah tidak pernah dipidana jika melanggar Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik.

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan Populer